Hidup Positif. Sebuah Pengalaman.

Hidup Positif. Sebuah Pengalaman.

Kenalkan, saya Ari. Umur saya saat cerita ini ditulis adalah 28 tahun. Saya sudah sekitar 9 bulan hidup dengan HIV dalam diri saya. Hasil tes terakhir saya, Viral load tidak terdeteksi, cd4 skitar 600an setelah sebelumnya di angka 200. Saya aktif secara fisik dan seksual, dan saya melakukannya dengan aman. Tubuh saya padat berisi dengan otot, tegap, dan tak tampak seperti tipikal penderita HIV yang diajarkan ke masyarakat pada umunya: kurus, kuyu, kopong, seperti mayat hidup.

Sebelum saya benar-benar divonis positif HIV, saya sudah bersinggung dengan istilah ini sejak lama. Dari SMP ke SMA saya aktif di program KRR (Konsultasi Reproduksi Remaja), membantu kesadaran remaja tentang resiko seks diluar nikah dan pentingnya abstinent (tidak melakukan hubungan badan) atau selalu menggunakan kondom. Kalau dipikir ironis juga, aktivis gerakan anti HIV ujung-ujungnya malah kena sendiri. Ah sudahlah.

PERTAMA MENGENAL
Melanjutkan cerita, pertama kali saya melakukan hubungan badan adalah ketika awal saya kuliah. Kondisi bebas dari pengawasan orang tua dan perluasan pergaulan yang sedikit tak terbendung membuat saya berani mencobanya dengan adik kelas masa SMA yang sudah lama naksir saya. Kita melakukannya tanpa pengaman, tentu saja, dan untungnya semua baik saja. Dia sekarang kerja di Kalimantan, masih sendiri dengan dalih sibuk kerja di tambang tiap orang tuanya tanya kenapa belum ada wanita yang dia bawa pulang. Padahal dia doyannya cowok juga.
Sejak itu saya jadi liar. Saya terus-terusan berganti pasangan karena bosan. Terhitung ada sekitar 33 mantan dan puluhan lagi orang yang sudah saya nikmati tubuhnya, yang hampir 90% saya lakukan dengan tidak aman. Lucunya, saya selalu selamat dan tidak terinfeksi.
Kondom masih begitu asing buat saya sampai ketika saya mendapat kesempatan bekerja di luar negeri. Waktu itu mantan pacar saya di sana mengajari saya pentingnya kondom dan berbagai penyakit yang memang tidak cuma ada dalam teori ala KRR saja, namun benar-benar ada dan berbahaya. Saya mulai belajar memakai kondom dan jujur saya menyukainya. Tak ada lagi kekawatiran belepotan kotor atau lecet atau bau (saya mudah hilang selera kalau sudah ada bau-bauan begitu). Meski begitu saya mulai membandel lagi ketika saya pulang ke Indonesia. Berbeda dengan saat di luar, di Indonesia tak ada yang mengingatkan atau mempersiapkan kondom. Mereka langsung main saja begitu sudah licin. Kadang saya pakai kondom, kadang kalau sudah terlanjur masuk ya mau bagaimana lagi.

MELESET UNTUK YANG PERTAMA
Sampai akhirnya di bulan Juli 2013 saya bertemu seorang calon perawat. Dia tampan dan manis sekali. Badannya tegap dan padat namun mungil dan imut. Kami berkenalan dan ngobrol lama. Dari situ kami mulai saling tertarik dan… tentu saja hal itu terjadi.

Dua kali kami melakukannya tanpa pengaman, dengan saya yang jadi topnya.
Dua minggu kemudian saya ajak dia tes bareng. Katanya dia belum pernah tes, dan karena kebetulan memang waktunya saya tes, why not? Dan di situ saya pertama kali melihat realita HIV dengan mata saya: saat hasil tes saya negatif dan hasil dia positif.

Saya ingat betul ia menangis sesenggukan di pangkuan saya, meratapi hidupnya dan rasa bersalahnya karena mungkin ia telah menulari saya. Saya Cuma bisa menenangkan dia sembari was was sendiri.
Saya memutuskan pindah kota, mendekatkan diri dengan keluarga jauh saya dan berusaha berhenti berhubungan badan. Saya fokus ke studi master saya dan belajar terus-terusan. Saya juga rajin tes tiap tiga bulan meski saya tidak berhubungan dengan siapapun, memastikan tidak ada virus yang meleset dari deteksi tes. Setahun berlalu dan saya tetap bersih, dan tetap berkomitmen untuk tidak sembrono lagi.
Namun apa mau dikata, libido pria umur dua puluhan dan kondisi fisik saya yang saat itu memang benar-benar sedang puncaknya (saya sempat juara enam body contest di sebuah kota) membuat puasa saya jebol. Awalnya saya bersaha memakai kondom, namun lama-lama lupa juga. Kebanyakan pasangan saya minta saya tak pakai kondom waktu saya dengan mereka, katanya tidak enak. Beberapa top yang juga pernah dengan saya juga kadang agak “memaksa” melakukannya tanpa kondom. Sudah terlanjur masuk, ya sudah teruskan saja, pikir saya.

TIDAK UNTUK KEDUA KALINYA
Takdir lalu membawa saya ke Ibukota untuk bekerja. Ibukota penuh dengan pria-pira beristri dan laki-laki yang sangat menikmati relasi semalam dengan pria-pria gagah dan tampan. Dan saya masuk dalam gaya hidup itu. Beberapa kali saya berganti pasangan, menikmati hubungan singkat pelepas penat ibukota.Dan berkali-kali juga saya tak pernah kena apa-apa.
Beberapa bulan di ibukota membuat saya lelah. Saya ingin seperti yang lain, memiliki pasangan dan tetap dengan dia. Dan doa saya dijawab. Saya bertemu mantan terakhir saya waktu itu. Dia berpendidikan, tampan, dari keluarga baik-baik, dan asik diajak ngobrol. Singkat cerita kami berpacaran. Dan tentu saja, kami melakukannya tanpa pengaman.
Hubungan kami berjalan tiga bulanan ketika di bulan Oktober 2015 saya mendadak sakit dan muntah-muntah parah. Dengan kondisi lemah saya pingsan di taksi dan dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang saya kecapean dan butuh istirahat. Namun entah kenapa firasat tak nyaman muncul.
Dua hari kemudian saya mengunjungi rumah sakit St. Carolus di Jakarta untuk cek. Ada dua jam saya menunggu hasilnya, dan saat dokter membacakan hasilnya, seakan organ saya jatuh ke tanah dan menyisakan kekosongan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

“Hasilnya positif Pak. Bapak positif HIV. Untuk yang lain negatif.”
Dalam sepersekian detik otak saya langsung meneriakkan kata yang tidak pernah saya kira sebelumnya: “KAMU HARUS HIDUP!”

Dengan segera saya bertanya tentang pengobatan dan apa yang harus saya lakukan agar pengobatan bisa dimulai. Awalnya dokter berusaha mengingatkan kalau pengobatan ini bersifat permanen dan akan ada banyak hal yang tidak bisa saya lakukan dan harus saya lakukan, namun saya tak peduli waktu itu. Yang ada di kepala saya hana ada kata “SURVIVE!” menggaung. Saya catat semua yang perlu saya lakukan, dari tes ginjal, tes lanjutan, semuanya saya siapkan dan saya minta dilakukan segera agar pengobatan segera bisa dilakukan. Otak saya segera merancang ulang segala rencana hidup saya dengan tujuan utama untuk tetap hidup selama mungkin. Saya juga segera mengontak mereka yang pernah berhubungan dengan tidak aman dengan saya dengan kurun waktu tiga sampai enam bulan kebelakang untuk dites. Saya tidak ingin salah satu dari mereka membawa dan menyebarkan sesuatu yang mereka tak tahu. Semuanya segera terlihat jelas di kepala saya. Jalan hidup saya tiba-tiba begitu jelas dan pasti: Saya ingin tetap hidup selama mungkin, karena saya masih ingin punya mobil, rumah, karir yang bagus, anjing, dan pasangan hidup.
Mantan pacar saya waktu itu akhirnya tes juga di hari yang sama, dan dia juga positif, dengan kondisi CD4 lebih parah. Ada kemungkinan memang dari dia. Tapi sudahlah, kami duduk dan bicara berdua, lalu memutuskan tidak enting siapa memberi siapa. Yang penting dua-duanya selamat.
Dan di saat itu juga kami memutuskan untuk jalan sendiri dulu untuk fokus dengan kesehtatan masing-masing.
Saya juga berusaha mengontak lembaga yang bisa memberikan dukungan moral ke saya karena saya yakin di satu titik saya pasti akan jatuh dan terpuruk secara mental. Waktu itu saya mengontak konselor di gueberani.org dan disambungkan ke salah satu konselor yang pelan-pelan membantu menatapkan saya dan membimbing saya melalui pengobatan dan puasa yang harus saya lakukan.

MENERIMA DIRI SENDIRI
Namun sambil lalu rasa tertekan, takut, bersalah, dan bahkan jijik pada diri sendiri kerap muncul. Malam setelah saya divonis positif, saya pulang dan duduk di tempat tidur dan menelepon teman dekat saya dan menangis. Saya luapkan semua sedih dan kecewa itu. Saya tangiskan semuanya. Dan kemudian saya kembali tenang. Saya mulai membaca berbagai artikel tentang HIV dan penularannya, serta bagaimana cara mencegah penularan. Saya habiskan berjam-jam membaca dan memahami virus yang sekarang ada dalam darah saya. Saya berpikir bahwa jika memang virus ini berbahaya, maka biar saya saja yang membawanya dan tidak memberikan ke orang lain.
Kadang saya juga menghabiskan waktu melihat diri saya sendiri di cermin, meraba kulit dan pipi saya. “Ada sesuatu yang berbahaya sedang mengalir di sini,” kata saya waktu itu. Kadang di kantor saya juga sering melihat jemari saya, menduga-duga bentuk virusnya seperti apa yang sekarang sedang berdansa dalam darah saya.
Jakarta perlahan menjadi kota yang depresif. Tiap sudutnya membuat saya makin hilang semangat. Karir saya yang sangat baguspun tak lagi membantu saya untuk fokus. Saya sering capek dan murung. Teman-teman yang tahu saya sakti jadi mengasihani saya, seakan saya bisa mati kapan saja. Beberapa kali ketika saya dekat dengan orangpun mereka pergi setelah mereka tahu kondisi saya. Saya pernah mau dipolisikan gara-gara ciuman, saya pernah diturunkan di tepian jalan tol. Sedih memang mendengarnya, kota metropolitan ternyata dipenuhi orang-orang yang kurang berpendidikan.

Sampai akhirnya saya memutuskan melakukan hal nekat: mengundurkan diri di tengah karir yang sedang naik tajam dan pindah ke Bali. Kenapa Bali? Karena saya bisa lebih tenang di sana. Karena saya merasa pantai dan laut bisa membantu kesembuhan saya. Karena tahu-tahu Bali muncul dalam benak saya. Pendek kata saya ingin tenang dan merenung, dan saya memilih Bali.

SETELAH GELAP
Di Bali saya dimbimbing staff Bali Medika untuk pengobatan dan konsultasi. Saya juga cepat mendapat kerja di sini. Secara beban kerja sebenernya beban kerja di Bali lebih berat, namun entah kenapa saya merasa lebih tenang dan bahagia dikelilingi laut dan orang-orang yang bisa menerima saya apa adanya. Teman-teman baru di sini yang tahu kondisi sayapun mendukung dengan semangat dan tidak mengasihani saya. Mereka memperlakukan saya seperti orang biasa. Dan jujur, saya lebih suka diperlakukan demikian.

Di Bali juga saya bertemu beberapa orang yang masih mau memeluk dan menyayangi saya meski dengan kondisi ini. Saya ingat seseorang yang saya temui di Kuta malah menggandeng tangan saya dan mencium saya sebagai bukti dia tidak takut. Hubungan kami tidak berlanjut karena dia harus kembali ke Jepang, namun buat saya hal seperti itu sudah cukup.
Saya juga mulai kembali berolahraga untuk menjaga bentuk tubuh. Perlahan kepercayaan diri saya kembali dan saya tak lagi takut dengan apa yang akan terjadi nantinya. Saya tak ada bedanya dengan yang lain: malah saya keliatan lebih sehat dari orang yang sehat.

Saat ini saya sedang mencari pekerjaan lain karena kontrak saya di Bali sudah habis. Saya tak lagi takut akan hidup saya yang singkat atau hal remeh lainnya. Hidup buat saya adalah untuk tetap hidup, karena masih banyak yang perku saya lihat dan saya rasakan.

HIV memberikan saya sebuah tamparan keras tentang bahwa hidup itu memang sebenarnya singkat, maka manfaatkanlah sebaik-baiknya. Lucunya HIV juga membuat saya bisa fokus dengan tujuan hidup saya yang utama: untuk tetap hidup dan menikmati tiap detik hidupnya.

Hiduplah sehidup-hidupnya. Nikmatilah hidup semaksimal mungkin, berbahagialah, bertanggung jawablah, kejarlah mimpi, cintailah dirimu sendiri, dan jadilah orang terbaik sebisamu. Tersenyumlah, jatuh cintalah, berharaplah, bernafaslah, bekerjalah, hiduplah dengan sehat, lakukan semuanya semaksimal mungkin dan tanpa penyesalan nantinya. Umur memang tidak pernah ada yang tahu, tapi justru itu yang membuat saya sadar bahwa tiap detiknya berharga dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Jika suatu saat kita jumpa, meski tidak saling mengenal, saya harap kalian selalu tersenyum dan menikmati tiap detik hidup yang berharga.